Guru dalam istilah asing memiliki istilah yang berbeda,
diantaranya; ustadz, muallim, mudarris(Arab), sensei(Jepang), teacher(Inggris).
Namun semua itu secara umum ditujukan pada orang yang mengajar dan mendidik.
Jika dipandang dari konteks jabatan, guru hanya memiliki makna terbatas bagi
mereka yang mendidik di lembaga pendidikan formal. Jika ditinjau dari sudut
pandang masyarakat, Negara dan Agama, profesi guru merupakan pekerjaan luhur
dan mulia, sehingga guru dalam pandangan masyarakat mendapat gelar “pahlawan
tanpa jasa” berkenaan dengan ugasnya yang luhur dan mulia. Disebut “pahlawan”
karena tugas guru mempersiapkan generasi mendatang dan berkualitas. Disebut
“tanpa jasa” karena guru melaksanakan tugasnya dengan penuh kesungguhan dan
tanpa pamrih. Walaupun guru mendapat gaji, tetap tidak seimbang dengan tugasnya
yang berat dan berisiko.
Menjadi berat
dikarenakan seorang guru harus membina tiga aspek kepribadian anak didiknya
yang meliputi aspek Kognitif, Afektif dan Psikomotorik. Dalam membna tiga
kepribadian ini bukanlah pekerjaan mudah dan membutuhkan waktu lama serta
keakhlian khusus. Berisiko dikarenakan jika dalam membina tiga aspek ini tidak
berhasil, khususnya pengembangan aspek Afektif, maka anak didik akan menjadi
liar dan desdruktif, karena dalam pribadi anak kosong dari nilai-nilai
moral,etika dan Agama, seperti banyak terjadi pada para pelajar akhir-akhir
ini.
Dalam kacamata Islam
kedudukan guru sangatlah istimewa sebagaimana Sabda Nabi Muhammad Saw; yang
artinya : “sesungguhnya Allah Swt dan Nabi Muhammad Saw dan para malaikat-Nya,
seluruh makhluk di langit dan di bumi, sampai semut dan di liangnya dan juga
ikan besar, semuanya bersholawat kepada orang-orang yang mengajarkan kebaikan
pada manusia”(HR. Tirmidzi). Tingginya kedudukan guru dalam Islam tidak bias
dilepakan dari pandangan bahwa ilmu pengetahuan bersumber dari Allah Swt,
lantaran ilmu berasal dari Allah, maka guru pertama dalah Allah. Pandangan ini
melahirkan sikap pada orang muslim, bahwa ilmu tidak terpisah dari Allah, dan
ilmu tidak terpisah dari guru. Dengan demikian, kedudukan guru amat tinggi
dalam Islam. Alasan lain mengapa guru mendapat kedudukan mulia dalam Islam
terkait dengan kewajiban menuntut ilmu bagi setiap muslim. Proses menuntut ilmu
berlangsung dibawah bimbingan guru, tanpa peran guru peserta didik sepertinya
agak sulit untuk memperoleh ilmu dengan baik dan benar.
Kedudukan guru
yang istimewa dalam islam berimbang dengan tugas dan tanggung jawabnya yang
tidak ringan. Seorang guru bukan hanya sekedar sebagai tenaga pengajar, tetapi
sekaligus sebagai pendidik, guru berkewajiban mewujudkan tujuan pendidikan
islam, yaitu mengembangkan seluruh potensi peserta didik agar menjadi muslim
yang sempurna. untuk mencapai tujuan ini guru harus berupaya melalui beragam
cara seperti mengajar, melatih, membiasakan member contoh, memberi dorongan,
memuji, menghukum, dan mendo’akan.
Sosok guru
memiliki peran strategis dalam proses pendidikan, khususnya di tingkat
institusional dan instruksional. Suatu kebijakan pendidikan yang ideal hanya
akan menjadi slogan belaka tanpa keterlibatan guru, karena guru merupakan ujung
tombak pelaksanaan berbagai konsep dan kebijakan pendidikan. Pertanyaanya,
bagaimana sebuah pesantren menyikapi calon guru? Di pesanten tradisional
misalnya, mendidik calon guru melalui pola pendekatan Takhassus,
kaderisasi, dan ijazah. Para santri senior biasanya dididik secara khusus untuk
menguasai kitab-kitab klasik tingkat lanjut (Kitab Kuning) di samping
itu mereka juga dilatih ‘magang’ untuk mendidik para santri junior. Setelah
dipandang layak, kiai memberikan izin dan kewenangan kepada para santri senior
untuk mengajarkan ilmu yang telah mereka dapat pada orang lain.
kriteria utama
calon guru ala pesantren tradisional di tekankan pada aspek akademik
(penguasaan kitab-kitab klasik tingkat tinggi) dan kepribadian yang mantap
dibawah pantauan dan bimbingan langsung kiai, namun aspek keterampilan mengajar
belum mendapat perhatian penuh, tidak ada batasan waktu berapa lama seorang
santri telah dipandang layak menjadi guru, tergantung kemampuan individu dan
restu kiai.
Kalau di pesantren
modern sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pesantren tradisional, hanya saja
pesanren modern menekankan pada tiga aspek; penguasaan bahasa, pengetahuan
umum, dan keterampilan mengajar. Ketiga aspek ini terdiri dari dua bagian;
teori dan praktek. Bagian teori meliputi pedagogi, didaktik, dan metodik.
Sedangkan bagian praktek, meliputi dua tahap; tahap persiapan, dengan cara
mengajar di kelas kosong, dan tahap sesungguhnya dengan cara mengajar di
kelas-kelas yata di bawah pengawasan guru senior. sebelum praktek mengajar
dimulai dilakukan brbagai persiapan seperti latihan menulis, menggambar di
papan tulis, dan latihan berbicara didepan murid.
Banyak cara yang
dilakukan lembaga pendidikan formal ataupun nonformal dalam menyiapkan calon
guru, namun ada empat asumsi tipe guru ideal yang diharapkan dunia pendidikan,
yaitu; pertama, guru yang memiliki kepribadian utama. Kedua, guru yang mampu
mengajar dengan metode penyampaian yang baik. Ketiga, guru yang mampu membangun
interaksi positif dengan murid di kelas. Keempat, guru yang memiliki kinerja
yang menggambarkan bahwa dia memiliki kemampuan mendidik yang diukur melalui
penguasaan materi, metode, media, dan kriteria lainnya.
Banyak cara untuk
mencapai citra guru ideal, misalnya pola pendidikan calon guru, penempatan dan
pembinaan guru, serta jaminan kesejahteraan guru. Dari sekian cara tersebut,
pendidikan calon guru memiliki peran penting sebagai langkah awal dalam
menyiapkan calon guru. Dengan demikian,
pembentukan calon guru berkualitas harus diawali upaya penyelenggaraan
pendidikan calon guru berkualitas pula, demi terlaksananya tujuan yang hendak
dicapai dunia pendidikan.